Rabu, 20 Februari 2013

Kode Etik Jurnalistik

1)   Pengertian kode etik jurnalistik.

Menurut UU Pers No. 40 tahun 1999,  pada pasal 7 ayat 2 bahwa yang dimaksud dengan Kode etik jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.  Dewan Pers,
Menurut pasal 15 ayat 1 dan 2 UU Pers, adalah sebuah dewan yang bersifat independen, yang terdiri dari wartawan, pimpinan perusahaan pers, tokoh masyarakat ahli bidang pers atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi  wartawan, dan organisasi perusahaan pers.
·                 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kode etik jurnalistik adalah sebagai aturan tata susila kewartawanan, norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penerbitan
KODE ETIK JURNALISTIK

PEMBUKAAN

Bahwasanya kemerdekaan pers adalah perwujudan kemerdekaan menyatakan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945, dan karena itu wajib dihormati semua pihak.
Kemerdekaan pers merupakan salah satu ciri negara hukum yang dikehendaki oleh penjelasan-penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Sudah barang tentu kemerdekaan pers itu harus dilaksanakan dengan tanggung jawab sosial serta jiwa Pancasila demi kesejahteraan dan keselamatan Bangsa dan negara. Karena itulah PWI menetapkan Kode Etik Jurnalistik untuk melestarikan asas kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.

Pasal 1
KEPRIBADIAN WARTAWAN INDONESIA

Wartawan Indonesia adalah warga negara yang memiliki kepribadian :
a.       bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.      berjiwa Pancasila;
c.       taat pada Undang-Undang Dasar 1945;
d.      bersifat ksatria;
e.       menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia;
f.        berjuang untuk emansipasi bangsa dalam segala lapangan sehingga dengan demikian turut bekerja ke arah keselamatan masyarakat Indonesia sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa di dunia.

Pasal 2
PERTANGGUNGJAWABAN

1.      Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tangung jawab dan bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita, tulisan, gambar, karikatur dan sebagainya disiarkan.

2.      Wartawan Indonesia tidak menyiarkan :
a.       hal-hal yang sifatnya destruktif dan dapat merugikan negara dan bangsa;
b.      hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan;
c.       hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila, agama kepercayaan atau keyakinan seseorang atau sesuatu golongan yang dilindungi undang-undang.

3.      Wartawan Indonesia melakukan pekerjaannya berdasarkan kebebasan yang bertanggung jawab demi keselamatan umum. Ia tidak menyalahgunakan jabatan dan kecakapannya untuk kepentingan sendiri dan/atau kepentingan golongan.

4.      Wartawan Indonesia dalam menjalankan tugas jurnalistiknya yang menyangkut bangsa dan negara lain, mendahulukan kepentingan nasional Indonesia.

Pasal 3
CARA PEMBERITAAN DAN MENYATAKAN PENDAPAT

1.      Wartawan Indonesia menempuh jalan dan cara yang jujur untuk memperoleh bahan-bahan berita dan tulisan dengan selalu menyatakan identitasnya sebagai wartawan apabila sedang melakukan tugas peliputan.
2.      Wartawan Indonesia meneliti kebenaran sesuatu berita atau keterangan sebelum menyiarkannya, dengan juga memperhatikan kredibilitas sumber berita yang bersangkutan.
3.      Di dalam menyusun suatu berita, wartawan Indonesia membedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini), sehingga tidak mencampuradukkan fakta dan opini tersebut.
4.      Kepala-kepala berita harus mencerminkan isi berita.
5.      Dalam tulisan yang memuat pendapat tentang sesuatu kejadian (byline story), wartawan Indonesia selalu berusaha untuk bersikap obyektif, jujur, dan sportif berdasarkan kebebasan yang bertangung jawab dan menghindarkan diri dari cara-cara penulisan yang bersifat pelanggaran kehidupan pribadi (privacy), sensasional, immorial atau melanggar kesusilaan.
6.      Penyiaran setiap berita atau tulisan yang berisi tuduhan yang tidak berdasar, desas-desus, hasutan yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan negara, fitnahan, pemutarbalikan sesuatu kejadian, merupakan pelanggaran berat terhadap profesi jurnalistik.
7.      Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan perkara pidana di dalam sidang-sidang pengadilan harus dijiwai oleh prinsip “praduga tak bersalah”, yaitu bahwa seseorang tersangka harus dianggap bersalah telah melakukan suatu tindak pidana apabila ia telah dinyatakan terbukti bersalah dalam keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan tetap.
8.      Penyiaran nama secara lengkap, identitas dan gambar dari seorang tersangka dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, dan dihindarkan dalam perkara-perkara yang menyangkut kesusilaan atau menyangkut anak-anak yang belum dewasa. Pemberitaan harus selalu berimbang antara tuduhan dan pembelaan dan dihindarkan terjadinya “trial by the press”.


Pasal 4
HAK JAWAB

1.      Setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak benar atau berisi hal-hal yang menyesatka, harus dicabut kembali atau diralat atas keinsyafan wartawan sendiri.
2.      Pihak yang merasa dirugikan wajib diberi kesempatan secepatnya untuk menjawab atau memperbaiki pemberitaan yang dimaksud, sedapat mungkin dalam ruangan yang sama dengan pemberitaan semula dan maksimal sama panjangnya, asal saja jawaban atau perbaikin itu dilakukan secara wajar.

Pasal 5
SUMBER BERITA

1.      Wartawan Indonesia menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak bersedia disebut namanya. Dalam hal berita tanpa menyebutkan nama sumber tersebut disiarkan, maka segala tanggung jawab berada pada wartawan dan/atau penerbit pers yang bersangkutan.
2.      Keterangan-keterangan yang diberikan secara “off the record” tidak disiarkan, kecuali apabila wartawan yang bersangkutan secara nyata-nyata dapat membuktikan bahwa ia sebelumnya memiliki keterangan-keterangan yang kemudian ternyata diberikan secara “off the record” itu. Jika seorang wartawan tidak ingin terikat pada keterangan yang akan diberikan dalam suatu pertemuan secara “off the record”, maka ia dapat tidak menghadirinya.
3.      Wartawan Indonesia dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita, gambar  atau tulisan dari suatu penerbitan pers, baik yang terbit di dalam maupun di luar negeri. Perbuatan plagiat, yaitu mengutip berita, gambar atau tulisan tanpa menyebutkan sumbernya, merupakan pelanggaran berat.
4.      Penerimaan imbalan atau sesuatu janji untuk menyiarkan suatu berita, gambar atau tulisan yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang, sesuatu golongan atau sesuatu pihak dilarang sama sekali.
Pasal 6
KEKUATAN KODE ETIK

1.      Kode Etik ini dibuat atas prinsip bahwa pertanggungjawaban tentang penataannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia.
2.      Tiada satu pasal dalam Kode Etik ini yang memberi wewenang kepada golongan manapun di luar PWI untuk mengambil tindakan terhadap seorang wartawan Indonesia atau terhadap penerbitan pers di Indonesia berdasarkan pasal-pasal dalam Kode Etik ini, karena sanksi atas pelanggaran Kode Etik ini adalah merupakan hak organisatoris dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) melalui organ-organnya.



2)  Implementasi kode etk jurnalistik dalam masyarakat demokrasi di Indonesia
Kehadiran pers dalam sebuah sistem politik modern merupakan wujud dari kedaulatan rakyat, dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang demokratis. Melalui pers, kekosongan ruang publik yang terjadi, baik antarkelompok masyarakat maupun antara pemerintah dan masyarakat, bisa terjembatani. Pers sebagai instrumen komunikasi yang melibatkan manusia dalam jumlah yang besar menjadi forum bagi berlangsungnya dialog secara terbuka antarkelompok dalam masyarakat serta antara masyarakat dan pemerintah.
Di sini pers memainkan peran sentral sebagai pemasok dan penyebar informasi yang diperlukan untuk memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan para penyelenggara negara. Pers yang bebas akan memainkan peran sebagai forum dialog yang demokratis, termasuk memberikan kesempatan bagi suara yang mungkin selama ini terabaikan. Ia juga memainkan peranan sebagai sumber informasi yang berharga, sebagai pelengkap atau bahkan bisa pula menjadi alat utama bagi proses pendidikan, serta sebagai alat kontrol yang efektif terhadap kinerja penguasa dan proses pembangunan
pers nasional juga tidak dikenal penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Dengan kata lain, di bawah aturan yang baru, kebebasan pers sebagai ekspresi dari hak asasi dan hak politik mendapat jaminan hukum. Di bawah sistem Orde reformasi sekarang, fungsi pers tidak seharusnya sekadar medium penebar informasi, hiburan, dan pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial Sayangnya, pers di negeri ini, baik media cetak maupun media elektronik, hingga saat ini masih banyak berkutat dengan fungsi dasarnya sebagai medium penyebar informasi, hiburan, dan pendidikan. Kedua jenis media itu memang sudah mampu menjangkau mayoritas publik penggunaannya dalam memberikan informasi. Setidaknya, mayoritas responden merasa puas dengan kemampuan media ini dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat. Begitu juga dengan fungsi hiburan yang dibawa oleh kedua media ini. Kepuasan responden terhadap aspek hiburan media massa tidak hanya terhadap apa yang disajikan oleh media elektronik, terutama televisi, tetapi juga dari yang mereka baca dari media cetak.
Adapun untuk fungsi pendidikan, tampaknya responden masih lebih percaya kepada media cetak ketimbang media elektronik. Setidaknya, 57,2 persen responden merasa puas dengan fungsi pendidikan yang mereka dapat dari media cetak. Sementara responden yang puas dengan fungsi pendidikan yang diberikan oleh media elektronik hanya 42,5 persen. Apresiasi responden terhadap media cetak dan media elektronik itu mencerminkan tingginya kebutuhan informasi di masyarakat. Meskipun informasi yang diperoleh dikemas dalam perspektif yang berbeda-beda, tetapi soal aktualitas, obyektivitas, dan netralitas media selalu menjadi tolok ukur kejujuran media massa dalam mengungkapkan fakta.
Terhadap tolok ukur itu, sebagian besar (62,0 persen) responden menilai, pemberitaan yang dilakukan oleh media massa saat ini sudah sesuai dengan fakta, sementara 33 persen responden malah menilai sebaliknya. Begitu juga dengan soal proporsionalitas pemberitaan. Bagi 51,9 persen responden, media massa saat ini sudah proporsional dalam memberitakan suatu peristiwa. Namun, pendapat ini ditentang 43,1 persen responden yang melihat media massa saat ini cenderung melebih-lebihkan sebuah pemberitaannya.
Soal keberpihakan media, lebih dari separuh bagian (53,7 persen) responden menilai media massa saat ini sudah berimbang dalam memberitakan sebuah peristiwa, sementara 42,5 persen responden menanggapi sebaliknya. Kendati demikian, keberhasilan pers itu tidak lantas membuat pers Indonesia bebas dari ekses negatif yang di timbulkan akibat kebebasan pers yang dimilikinya. Benturan idealisme pers dengan kepentingan internal dan eksternal pers selalu mengondisikan pers Indonesia dalam posisi yang dilematis. Inilah persoalan klasik yang selalu melanda pers Indonesia selama ini.
Peran pers yang begitu besar dalam pembentukan opini publik membuat lembaga ini selalu berbenturan dengan kepentingan pemerintah. Pada masa Orde Baru, sering kali pers dipaksa mengakomodasikan kepentingan pemerintah atau terpaksa berhadapan dengan penguasa jika bersikukuh mempertahankan idealisme kebebasannya.
Namun, tampaknya dunia pers saat ini sudah bisa menikmati kebebasannya. Setidaknya, lebih dari separuh bagian (52,6 persen) responden merasakan media massa saat ini sudah bebas dari pengaruh, terutama tekanan atau intervensi penguasa. Meskipun demikian, 43,6 persen responden malah merasa pengaruh pemerintah masih cukup kuat terhadap media massa. Berbeda dengan penguasa, pengaruh tokoh politik malah dirasakan cukup kuat di dalam kehidupan pers saat ini. Separuh bagian responden merasakan hal ini.
Hubungan saling mempengaruhi antara pers dan pihak yang berada di luar dirinya, seperti yang terungkap dalam jejak pendapat ini, memberi penegasan bahwa tidak ada indenpendensi absolut dalam kehidupan pers. Fenomena ini bisa dilihat dari orientasi pers saat ini. Sebagian besar responden menilai media massa saat ini cenderung berorientasi pada aspek komersial ketimbang idealisme pers sebagai politik pembebasan.
Kecenderungan ini bisa dilihat dari fenomena pemberitaan yang dilakukan media massa saat ini. Bagi media elektronik, untuk mengejar rating yang tinggi, program acara bersifat sensasional, yang kandungan pendidikannya untuk publik relatif rendah, semakin sering ditawarkan kepada publik. Unsur pornografi, kekerasan, hingga mistik pun dipublikasikan. Sebagian besar (64,5 persen) responden mengaku prihatin dengan tayangan televisi yang mengandung kekerasan.
Menurut sebagian responden itu, penayangan adegan kekerasan di televisi pada masa reformasi ini sudah berlebihan. Begitu juga dengan tayangan yang berbau pornografi. Lebih dari separuh bagian (58,0 persen) responden mengaku, tayangan itu sudah berlebihan. Keprihatinan yang sama juga diungkapkan oleh 58,6 persen responden terhadap penayangan acara televisi yang berbau mistik. Kecenderungan serupa terjadi di media cetak. Kendati tidak separah yang ditayangkan media elektronik, publik tetap memprihatinkan pemunculan berita berbau pornografi, kekerasan, atau mistik.
Begitulah wajah kebebasan pers Indonesia saat ini. Di satu sisi keberadaannya mencerminkan tanggung jawab sosialnya bagi masyarakat dan negara, namun di sisi lain, keberadannya malah dikhawatirkan menghancurkan moral bangsa ini. Inilah eforia pers yang menghasilkan wajah pers Indonesia dengan karakter yang beragam seperti sekarang
3)  Contoh-contoh penyimpangan kode etik jurnalistik dari 3 media

*   Harian Kompas memecat wartawannya yang terbukti melanggar kode etik jurnalistik berupa permintaan saham PT. Krakatau Steel. Kode etik jurnalistik menyatakan, wartawan tidak boleh menyalahgunakan profesi. Telah terjadi pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan profesi wartawan karena ada usaha yang dilakukan wartawan untuk mendapatkan saham perdana PT. KS dengan menggunakan profesi dan jaringannya sebagai wartawan
*   Pemberitaan kasus Antasari yang melibatkan wanita bernama Rani oleh TV One
            Menurut Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Tribuana Said, Selasa, saat diskusi Bedah Kasus Kode Etik Jurnalistik di Gedung Dewan Pers, indikasi pelanggaran tersebut dapat dilihat dari pemberitaan yang kurang berimbang karena hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian saja.
Selain itu, Tribuana menambahkan, narasumber yang dipakai hanya narasumber sekunder saja, misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani, bukan dari narasumber utama.
Pasal yang dilanggar oleh divisi berita TV One dalam menyiarkan pemberitaan Antasari – Rani adalah Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Dalam kasus di atas, wartawan TV One hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian, tidak menggunakan data dari narasumber utama yaitu Antasari atau Rani.
*  Beberapa Fakta tentang ANTV dan TVOne telah melanggar Kode Etik Jurnalistik ini, terutama dalam pemberitaan di program acara Lensa Olahraga dan Kampiun (ANTV), juga Kabar Indonesia Petang dan Kabar Arena (TVOne), yang antara lain:
1. Adanya pemberitaan yang menyatakan bahwa Timnas Indonesia yang dibentuk oleh KPSI adalah Tim Nasional Sepakbola Indonesia. Hal ini merupakan indikasi atas kebohongan dan fitnah atas keberadaan dan posisi Timnas Indonesia yang sah serta diakui oleh AFC/FIFA;
2. Adanya kebohongan dan fitnah pemberitaan yang menyatakan dengan memberikan label kepada La Nyalla Mataliti sebagai ketua umum PSSI hasil KLB di Ancol, padahal AFC maupun FIFA tidak mengakui adanya KLB Ancol. AFC dan FIFA hanya mengakui organisasi PSSI adalah yang dipimpin oleh Djohar Arifin Husen;
3. Pemberitaan terkait poin 1 dan 2 ini hingga sekarang terus dilakukan, terkahir kali pemberitaan ini adalah saat Kampiun hari Minggu (23/9/12) yang menyatakan bahwa Timnas Indonesia akan melanjutkan latihan di Australia dengan melakukan latih tanding bersama Klub-klub lokal Australia
*      Detik.com Melanggar UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Mengacu pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tengang pers, maka detik.com merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia atau disebut Pers.Sebagai Pers tentunya detik.com dipayungi oleh UU Pers dan detik.com dan lembaga pers lainnya selayaknya jugalah mematuhi dan mentaati kententuan-ketentuan yang diatur pada UU tersebut. Namun sangat disayangkan ternyata detik.com tidak melaksanakan ketentuan tersebut secara baik dan benar. Pada rubrik kolom di detik.com ada tulisan “Islam, sekulerime dan Indonesia” dimana pada tulisan tersebut telah menilai agama lain dan secara implisit telah merendahkannya. Pada hal pada UU Pers sudah jelas diatur bahwa Pers berkewajiban menjungjung Hak Azasi manusia dan Kebhinekaan yang diatur pada Pasal 5 ayat 1 UU Pers yang berbunyi “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Selain itu detik.com juga telah melanggar ketentuan Pasal 6 UU Pers, dimana sebagai Pers detik.com mempunyai peranan ;
a.memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dari sisi Kode etik Jurnalistik, detik.com juga telah melanggar ketentuan-ketentuan yang ada yakni Pasal 3 : ” Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Pasal 8 “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Bila kita lihat komentar-komentar tanggapan pada tulisan ini, maka sungguh sangat menyedihkan, dimana saling hujat menghujat terjadi antara pembaca. walaupun belum dapat dikatakan representativ mewakili seluruh rakyat namun Hal ini dapat dijadikan sebagi cermin bahwa tulisan-tulisan seperti ini dapat berakibat buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara republik Indonesia.
Seharusnya detik.com dan media-media lain dapat lebih selektif memuat tulisan-tulisan baik berita, dan opini karena Pers merupakan lembaga publik yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Tulisan ini bukan semata ditujukan kepada detik.com semata, akan tetapi ditujukan kepada semua media Pers baik elektronik dan cetak. semoga bermanfaat bagi kita semua, agar kita kita sebagai masyarakat lebih selektif dan jernih berpikir agar menjadi masyarakat yang arif dan bijaksana.


4)            Upaya pemerintah dalam Mengendalikan kebebasan pers

Sensor, adalah pengawasan dan kontrol informasi atau gagasan yang beredar dalam suatu masyarakat.  Seperti pengawasan atas buku, majalah, pertunjukan, film, program televisi dan radio, laporan berita, dan media komunikasi lain dengan tujuan mengubah atau menghilangkan bagian tertentu yang dianggap tidak diterima atau tidak sopan.
2)    Penerbitan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penrbitan Pers).
3)    Pendirian Departemen Penerangan.
4)    Pemberlakuan UU Pers, Yaitu UU No. 40 tahun 1999.
5)    Pembreidelan, yaitu pencabutan izin terbit.  Di Indonesia surat kabar dan majalah yang pernah dibreidel di masa Orde Lama dan Orde Baru, adalah:
Nama
Jenis
Tanggal dibreidel
Keng Po
Surat Kabar
1 Agustus 1957
Pos Indonesia
Surat Kabar
1957
Indonesia Raya
Surat Kabar
16 Agustus 1958
Star weekly
Surat Kabar
1961
Indonesia Raya
Surat Kabar
15 Januari 1974
Prioritas
Majalah Berita
1986
Sinar Harapan
Surat Kabar
Oktober 1986
Monitor
Tabloid Televisi, Radio dan Film
1992
Detik
Tabloid Berita
1994
Editor
Majalah Mingguan Berita
1994
Tempo
Majalah Mingguan Berita
1994
Ket. Terbit lagi setelah adanya permintaan maaf dari pihak majalah tempo.
Perspektif
Acara Talk show Televisi
1995
Dialog Aktual
Acara Talk Show Televisi
1998
 
6) Distorsi peraturan perundangan, adanya upaya penghilangan kebebasan pers itu sendiri memlalui undang-undang.  Contoh adanya keinginan DPR untuk mengamandemen UU No. 40 tahun 1999, adanya UU hak cipta,   UU tentang perlindungan konsumen, UU Penyiaran, dan pasal-pasal ancaman pidana di  KUHP.
 7) Perilaku aparat, adanya usaha mengendalikan kebebasan pers dengan cara menelpon redaktur, mengirimkan teguran tertulis ke redaksi media massa, melakukan kekerasan pisik kepada wartawan, menangkap dan memenjarakan, bahkan membunuh wartawan.
 8) Pengadilan Massa, dengan adanya kebebasan pers yang tidak digunakan untuk menguimbar sensasi, kerja jurnalistik asal-asalan, rumor, isu, dugaan, penghinaan, hujatan dimuat begitu saja, sehingga masyarakat dirugikan.  Mereka menghukum pers sesuai dengan caranya sendiri (main hakim sendiri) seperti menculik, merusak kantor media massa, penganiayaan wartawan, dll.
 9) Perilaku pers itu sendiri, perolehan laba menjadi lebih utama dari pada penyajian berita yang berkualitas dan memenuhi standar etika jurnalistik, akibatnya beberapa media tumbuh menjadi kekuatan anti demokrasi, sehingga lebih mengutamakan hiburan daripada memberikan informasi yang syarat makna
Upaya Pemerintah dalam Mengendalikan Kebebasan Pers

a.Membuat undang-undang pers
b.Memfungsikan dewan pers sebagai pembina pers nasional
c.Menegakkan supremasi hukum
d.Melaksanakan sosialisasi dan meningkatkan kesadaran rakyat akan hak-hak asasi manusia
2.Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Media Massa dalam Masyarakat Demokratis di Indonesia
Berikut ini beberapa contoh bentuk penyalahgunaan kebebasan media massa.
a.Penyiaran berita / informasi yang tidak memenuhi kode etik jurnalistik
b.Peradilan oleh pers
c.Membentuk opini yang menyesatkan
d.Bentuk tulisan / saran bebas yang bersifat profokatif
Di samping beberapa dampak penyalahgunaan kebebasan media massa yang telah disebutkan di atas, secara khusus penyalahgunaan kebebasan media massa akan berdampak sebagai berikut.
a.Bagi kepentingan pribadi
b.Bagi kepentingan masyarakat
c.Bagi kepentingan negara

0 komentar:

Posting Komentar