1)
Pengertian kode etik jurnalistik.
Menurut UU Pers No. 40 tahun 1999, pada pasal 7 ayat 2 bahwa yang dimaksud
dengan Kode etik jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi
wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Dewan Pers,
Menurut
pasal 15 ayat 1 dan 2 UU Pers, adalah sebuah dewan yang bersifat independen,
yang terdiri dari wartawan, pimpinan perusahaan pers, tokoh masyarakat ahli
bidang pers atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan, dan organisasi perusahaan pers.
· Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kode etik jurnalistik adalah sebagai aturan tata
susila kewartawanan, norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata
karma penerbitan
KODE ETIK JURNALISTIK
PEMBUKAAN
Bahwasanya kemerdekaan pers adalah perwujudan
kemerdekaan menyatakan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945,
dan karena itu wajib dihormati semua pihak.
Kemerdekaan pers merupakan salah satu ciri negara
hukum yang dikehendaki oleh penjelasan-penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.
Sudah barang tentu kemerdekaan pers itu harus dilaksanakan dengan tanggung
jawab sosial serta jiwa Pancasila demi kesejahteraan dan keselamatan Bangsa dan
negara. Karena itulah PWI menetapkan Kode Etik Jurnalistik untuk melestarikan
asas kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.
Pasal 1
KEPRIBADIAN WARTAWAN INDONESIA
Wartawan Indonesia adalah warga negara yang
memiliki kepribadian :
a.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. berjiwa Pancasila;
c.
taat pada Undang-Undang Dasar 1945;
d. bersifat ksatria;
e.
menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia;
f.
berjuang untuk emansipasi bangsa dalam segala
lapangan sehingga dengan demikian turut bekerja ke arah keselamatan masyarakat
Indonesia sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa di dunia.
Pasal 2
PERTANGGUNGJAWABAN
1. Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tangung jawab dan bijaksana
mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita, tulisan, gambar, karikatur
dan sebagainya disiarkan.
2. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan :
a.
hal-hal yang sifatnya destruktif dan dapat
merugikan negara dan bangsa;
b. hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan;
c.
hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila,
agama kepercayaan atau keyakinan seseorang atau sesuatu golongan yang
dilindungi undang-undang.
3. Wartawan Indonesia melakukan pekerjaannya berdasarkan kebebasan yang
bertanggung jawab demi keselamatan umum. Ia tidak menyalahgunakan jabatan dan
kecakapannya untuk kepentingan sendiri dan/atau kepentingan golongan.
4. Wartawan Indonesia dalam menjalankan tugas jurnalistiknya yang menyangkut
bangsa dan negara lain, mendahulukan kepentingan nasional Indonesia.
Pasal 3
CARA PEMBERITAAN DAN MENYATAKAN PENDAPAT
1. Wartawan Indonesia menempuh jalan dan cara yang jujur untuk memperoleh
bahan-bahan berita dan tulisan dengan selalu menyatakan identitasnya sebagai
wartawan apabila sedang melakukan tugas peliputan.
2. Wartawan Indonesia meneliti kebenaran sesuatu berita atau keterangan
sebelum menyiarkannya, dengan juga memperhatikan kredibilitas sumber berita
yang bersangkutan.
3. Di dalam menyusun suatu berita, wartawan Indonesia membedakan antara
kejadian (fakta) dan pendapat (opini), sehingga tidak mencampuradukkan fakta
dan opini tersebut.
4. Kepala-kepala berita harus mencerminkan isi berita.
5. Dalam tulisan yang memuat pendapat tentang sesuatu kejadian (byline story), wartawan Indonesia selalu
berusaha untuk bersikap obyektif, jujur, dan sportif berdasarkan kebebasan yang
bertangung jawab dan menghindarkan diri dari cara-cara penulisan yang bersifat
pelanggaran kehidupan pribadi (privacy),
sensasional, immorial atau melanggar kesusilaan.
6. Penyiaran setiap berita atau tulisan yang berisi tuduhan yang tidak
berdasar, desas-desus, hasutan yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan
negara, fitnahan, pemutarbalikan sesuatu kejadian, merupakan pelanggaran berat
terhadap profesi jurnalistik.
7. Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan perkara pidana di dalam
sidang-sidang pengadilan harus dijiwai oleh prinsip “praduga tak bersalah”,
yaitu bahwa seseorang tersangka harus dianggap bersalah telah melakukan suatu
tindak pidana apabila ia telah dinyatakan terbukti bersalah dalam keputusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan tetap.
8. Penyiaran nama secara lengkap, identitas dan gambar dari seorang
tersangka dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, dan dihindarkan dalam
perkara-perkara yang menyangkut kesusilaan atau menyangkut anak-anak yang belum
dewasa. Pemberitaan harus selalu berimbang antara tuduhan dan pembelaan dan
dihindarkan terjadinya “trial by the
press”.
Pasal 4
HAK JAWAB
1. Setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak benar atau berisi hal-hal
yang menyesatka, harus dicabut kembali atau diralat atas keinsyafan wartawan
sendiri.
2. Pihak yang merasa dirugikan wajib diberi kesempatan secepatnya untuk
menjawab atau memperbaiki pemberitaan yang dimaksud, sedapat mungkin dalam
ruangan yang sama dengan pemberitaan semula dan maksimal sama panjangnya, asal
saja jawaban atau perbaikin itu dilakukan secara wajar.
Pasal 5
SUMBER BERITA
1. Wartawan Indonesia menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang
tidak bersedia disebut namanya. Dalam hal berita tanpa menyebutkan nama sumber
tersebut disiarkan, maka segala tanggung jawab berada pada wartawan dan/atau
penerbit pers yang bersangkutan.
2. Keterangan-keterangan yang diberikan secara “off the record” tidak disiarkan, kecuali apabila wartawan yang
bersangkutan secara nyata-nyata dapat membuktikan bahwa ia sebelumnya memiliki
keterangan-keterangan yang kemudian ternyata diberikan secara “off the record” itu. Jika seorang
wartawan tidak ingin terikat pada keterangan yang akan diberikan dalam suatu
pertemuan secara “off the record”,
maka ia dapat tidak menghadirinya.
3. Wartawan Indonesia dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita,
gambar atau tulisan dari suatu
penerbitan pers, baik yang terbit di dalam maupun di luar negeri. Perbuatan
plagiat, yaitu mengutip berita, gambar atau tulisan tanpa menyebutkan
sumbernya, merupakan pelanggaran berat.
4. Penerimaan imbalan atau sesuatu janji untuk menyiarkan suatu berita,
gambar atau tulisan yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang, sesuatu
golongan atau sesuatu pihak dilarang sama sekali.
Pasal 6
KEKUATAN KODE ETIK
1. Kode Etik ini dibuat atas prinsip bahwa pertanggungjawaban tentang
penataannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia.
2. Tiada satu pasal dalam Kode Etik ini yang memberi wewenang kepada
golongan manapun di luar PWI untuk mengambil tindakan terhadap seorang wartawan
Indonesia atau terhadap penerbitan pers di Indonesia berdasarkan pasal-pasal
dalam Kode Etik ini, karena sanksi atas pelanggaran Kode Etik ini adalah
merupakan hak organisatoris dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) melalui
organ-organnya.
2)
Implementasi kode
etk jurnalistik dalam masyarakat demokrasi di Indonesia
Kehadiran pers dalam sebuah sistem politik
modern merupakan wujud dari kedaulatan rakyat, dan menjadi unsur yang
sangat penting untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang demokratis. Melalui
pers, kekosongan ruang publik yang terjadi, baik antarkelompok masyarakat maupun
antara pemerintah dan masyarakat, bisa terjembatani. Pers sebagai instrumen
komunikasi yang melibatkan manusia dalam jumlah yang besar menjadi forum bagi
berlangsungnya dialog secara terbuka antarkelompok dalam masyarakat serta
antara masyarakat dan pemerintah.
Di sini pers memainkan peran sentral sebagai pemasok dan penyebar
informasi yang diperlukan untuk memfasilitasi pembentukan opini publik
dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan para
penyelenggara negara. Pers yang bebas akan memainkan peran sebagai forum dialog
yang demokratis, termasuk memberikan kesempatan bagi suara yang mungkin selama
ini terabaikan. Ia juga memainkan peranan sebagai sumber informasi yang
berharga, sebagai pelengkap atau bahkan bisa pula menjadi alat utama bagi
proses pendidikan, serta sebagai alat kontrol yang efektif terhadap kinerja
penguasa dan proses pembangunan
pers nasional juga tidak dikenal penyensoran, pembredelan
atau pelarangan penyiaran. Dengan kata lain, di bawah aturan yang baru, kebebasan
pers sebagai ekspresi dari hak asasi dan hak politik mendapat jaminan hukum. Di
bawah sistem Orde reformasi sekarang, fungsi pers tidak seharusnya sekadar
medium penebar informasi, hiburan, dan pendidikan, tetapi juga berfungsi
sebagai alat kontrol sosial Sayangnya, pers di negeri ini, baik media cetak
maupun media elektronik, hingga saat ini masih banyak berkutat dengan fungsi
dasarnya sebagai medium penyebar informasi, hiburan, dan pendidikan. Kedua
jenis media itu memang sudah mampu menjangkau mayoritas publik penggunaannya
dalam memberikan informasi. Setidaknya, mayoritas responden merasa puas dengan
kemampuan media ini dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat. Begitu juga
dengan fungsi hiburan yang dibawa oleh kedua media ini. Kepuasan responden
terhadap aspek hiburan media massa tidak hanya terhadap apa yang disajikan oleh
media elektronik, terutama televisi, tetapi juga dari yang mereka baca dari
media cetak.
Adapun untuk fungsi pendidikan, tampaknya responden masih lebih percaya
kepada media cetak ketimbang media elektronik. Setidaknya, 57,2 persen
responden merasa puas dengan fungsi pendidikan yang mereka dapat dari media
cetak. Sementara responden yang puas dengan fungsi pendidikan yang diberikan
oleh media elektronik hanya 42,5 persen. Apresiasi responden terhadap media
cetak dan media elektronik itu mencerminkan tingginya kebutuhan informasi di
masyarakat. Meskipun informasi yang diperoleh dikemas dalam perspektif yang
berbeda-beda, tetapi soal aktualitas, obyektivitas, dan netralitas media selalu
menjadi tolok ukur kejujuran media massa dalam mengungkapkan fakta.
Terhadap tolok ukur itu, sebagian besar (62,0 persen) responden menilai, pemberitaan
yang dilakukan oleh media massa saat ini sudah sesuai dengan fakta,
sementara 33 persen responden malah menilai sebaliknya. Begitu juga dengan soal
proporsionalitas pemberitaan. Bagi 51,9 persen responden, media massa saat ini
sudah proporsional dalam memberitakan suatu peristiwa. Namun, pendapat ini
ditentang 43,1 persen responden yang melihat media massa saat ini cenderung
melebih-lebihkan sebuah pemberitaannya.
Soal keberpihakan media, lebih dari separuh bagian (53,7 persen)
responden menilai media massa saat ini sudah berimbang dalam memberitakan
sebuah peristiwa, sementara 42,5 persen responden menanggapi sebaliknya.
Kendati demikian, keberhasilan pers itu tidak lantas membuat pers Indonesia
bebas dari ekses negatif yang di timbulkan akibat kebebasan pers yang
dimilikinya. Benturan idealisme pers dengan kepentingan internal dan eksternal
pers selalu mengondisikan pers Indonesia dalam posisi yang dilematis. Inilah
persoalan klasik yang selalu melanda pers Indonesia selama ini.
Peran pers yang begitu besar dalam pembentukan opini publik membuat
lembaga ini selalu berbenturan dengan kepentingan pemerintah. Pada masa Orde
Baru, sering kali pers dipaksa mengakomodasikan kepentingan pemerintah atau
terpaksa berhadapan dengan penguasa jika bersikukuh mempertahankan idealisme
kebebasannya.
Namun, tampaknya dunia pers saat ini sudah bisa menikmati kebebasannya.
Setidaknya, lebih dari separuh bagian (52,6 persen) responden merasakan media
massa saat ini sudah bebas dari pengaruh, terutama tekanan atau intervensi
penguasa. Meskipun demikian, 43,6 persen responden malah merasa pengaruh
pemerintah masih cukup kuat terhadap media massa. Berbeda dengan penguasa,
pengaruh tokoh politik malah dirasakan cukup kuat di dalam kehidupan pers saat
ini. Separuh bagian responden merasakan hal ini.
Hubungan saling mempengaruhi antara pers dan pihak yang berada di luar
dirinya, seperti yang terungkap dalam jejak pendapat ini, memberi penegasan
bahwa tidak ada indenpendensi absolut dalam kehidupan pers. Fenomena ini bisa
dilihat dari orientasi pers saat ini. Sebagian besar responden menilai media
massa saat ini cenderung berorientasi pada aspek komersial ketimbang
idealisme pers sebagai politik pembebasan.
Kecenderungan ini bisa dilihat dari fenomena pemberitaan yang dilakukan
media massa saat ini. Bagi media elektronik, untuk mengejar rating yang tinggi, program acara
bersifat sensasional, yang kandungan pendidikannya untuk publik relatif rendah,
semakin sering ditawarkan kepada publik. Unsur pornografi, kekerasan, hingga
mistik pun dipublikasikan. Sebagian besar (64,5 persen) responden mengaku
prihatin dengan tayangan televisi yang mengandung kekerasan.
Menurut sebagian responden itu, penayangan adegan kekerasan di televisi
pada masa reformasi ini sudah berlebihan. Begitu juga dengan tayangan yang berbau
pornografi. Lebih dari separuh bagian (58,0 persen) responden mengaku, tayangan
itu sudah berlebihan. Keprihatinan yang sama juga diungkapkan oleh 58,6 persen
responden terhadap penayangan acara televisi yang berbau mistik. Kecenderungan
serupa terjadi di media cetak. Kendati tidak separah yang ditayangkan media
elektronik, publik tetap memprihatinkan pemunculan berita berbau
pornografi, kekerasan, atau mistik.
Begitulah wajah kebebasan
pers Indonesia saat ini. Di satu sisi keberadaannya mencerminkan tanggung
jawab sosialnya bagi masyarakat dan negara, namun di sisi lain, keberadannya
malah dikhawatirkan menghancurkan moral bangsa ini. Inilah eforia pers yang menghasilkan wajah pers Indonesia dengan karakter
yang beragam seperti sekarang
3)
Contoh-contoh penyimpangan kode etik jurnalistik dari 3
media
Harian
Kompas memecat wartawannya yang
terbukti melanggar kode etik jurnalistik berupa permintaan saham PT. Krakatau
Steel. Kode etik jurnalistik menyatakan, wartawan tidak boleh menyalahgunakan
profesi. Telah
terjadi pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan profesi wartawan karena ada
usaha yang dilakukan wartawan untuk mendapatkan saham perdana PT. KS dengan
menggunakan profesi dan jaringannya sebagai wartawan
Pemberitaan
kasus Antasari yang melibatkan wanita bernama Rani oleh TV One
Menurut Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Tribuana Said, Selasa, saat diskusi Bedah Kasus Kode Etik Jurnalistik di Gedung Dewan Pers, indikasi pelanggaran tersebut dapat dilihat dari pemberitaan yang kurang berimbang karena hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian saja.
Selain itu, Tribuana menambahkan, narasumber yang dipakai hanya narasumber sekunder saja, misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani, bukan dari narasumber utama. Pasal yang dilanggar oleh divisi berita TV One dalam menyiarkan pemberitaan Antasari – Rani adalah Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Dalam kasus di atas, wartawan TV One hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian, tidak menggunakan data dari narasumber utama yaitu Antasari atau Rani.
Menurut Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Tribuana Said, Selasa, saat diskusi Bedah Kasus Kode Etik Jurnalistik di Gedung Dewan Pers, indikasi pelanggaran tersebut dapat dilihat dari pemberitaan yang kurang berimbang karena hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian saja.
Selain itu, Tribuana menambahkan, narasumber yang dipakai hanya narasumber sekunder saja, misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani, bukan dari narasumber utama. Pasal yang dilanggar oleh divisi berita TV One dalam menyiarkan pemberitaan Antasari – Rani adalah Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Dalam kasus di atas, wartawan TV One hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian, tidak menggunakan data dari narasumber utama yaitu Antasari atau Rani.
Beberapa
Fakta tentang ANTV dan TVOne telah melanggar Kode Etik Jurnalistik ini,
terutama dalam pemberitaan di program acara Lensa Olahraga dan Kampiun (ANTV),
juga Kabar Indonesia Petang dan Kabar Arena (TVOne), yang antara lain:
1. Adanya pemberitaan yang menyatakan bahwa Timnas Indonesia yang dibentuk oleh KPSI adalah Tim Nasional Sepakbola Indonesia. Hal ini merupakan indikasi atas kebohongan dan fitnah atas keberadaan dan posisi Timnas Indonesia yang sah serta diakui oleh AFC/FIFA;
2. Adanya kebohongan dan fitnah pemberitaan yang menyatakan dengan memberikan label kepada La Nyalla Mataliti sebagai ketua umum PSSI hasil KLB di Ancol, padahal AFC maupun FIFA tidak mengakui adanya KLB Ancol. AFC dan FIFA hanya mengakui organisasi PSSI adalah yang dipimpin oleh Djohar Arifin Husen;
3. Pemberitaan terkait poin 1 dan 2 ini hingga sekarang terus dilakukan, terkahir kali pemberitaan ini adalah saat Kampiun hari Minggu (23/9/12) yang menyatakan bahwa Timnas Indonesia akan melanjutkan latihan di Australia dengan melakukan latih tanding bersama Klub-klub lokal Australia
1. Adanya pemberitaan yang menyatakan bahwa Timnas Indonesia yang dibentuk oleh KPSI adalah Tim Nasional Sepakbola Indonesia. Hal ini merupakan indikasi atas kebohongan dan fitnah atas keberadaan dan posisi Timnas Indonesia yang sah serta diakui oleh AFC/FIFA;
2. Adanya kebohongan dan fitnah pemberitaan yang menyatakan dengan memberikan label kepada La Nyalla Mataliti sebagai ketua umum PSSI hasil KLB di Ancol, padahal AFC maupun FIFA tidak mengakui adanya KLB Ancol. AFC dan FIFA hanya mengakui organisasi PSSI adalah yang dipimpin oleh Djohar Arifin Husen;
3. Pemberitaan terkait poin 1 dan 2 ini hingga sekarang terus dilakukan, terkahir kali pemberitaan ini adalah saat Kampiun hari Minggu (23/9/12) yang menyatakan bahwa Timnas Indonesia akan melanjutkan latihan di Australia dengan melakukan latih tanding bersama Klub-klub lokal Australia
Detik.com Melanggar UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Mengacu pada UU
Nomor 40 Tahun 1999 tengang pers, maka detik.com merupakan lembaga sosial dan
wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia atau disebut Pers.Sebagai
Pers tentunya detik.com dipayungi oleh UU Pers dan detik.com dan lembaga pers
lainnya selayaknya jugalah mematuhi dan mentaati kententuan-ketentuan yang
diatur pada UU tersebut. Namun sangat disayangkan ternyata detik.com tidak
melaksanakan ketentuan tersebut secara baik dan benar. Pada rubrik kolom di
detik.com ada tulisan “Islam, sekulerime dan Indonesia” dimana pada tulisan
tersebut telah menilai agama lain dan secara implisit telah merendahkannya.
Pada hal pada UU Pers sudah jelas diatur bahwa Pers berkewajiban menjungjung Hak
Azasi manusia dan Kebhinekaan yang diatur pada Pasal 5 ayat 1 UU Pers yang
berbunyi “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga
tak bersalah”. Selain itu detik.com juga telah melanggar ketentuan Pasal 6 UU
Pers, dimana sebagai Pers detik.com mempunyai peranan ;
a.memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui.
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati
kebinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dari sisi Kode
etik Jurnalistik, detik.com juga telah melanggar ketentuan-ketentuan yang ada
yakni Pasal 3 : ” Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan
secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta
menerapkan asas praduga tak bersalah.” Pasal 8 “Wartawan Indonesia tidak
menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap
seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin,
dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat
jiwa atau cacat jasmani.Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan
suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Bila kita lihat komentar-komentar tanggapan pada tulisan ini, maka sungguh
sangat menyedihkan, dimana saling hujat menghujat terjadi antara pembaca.
walaupun belum dapat dikatakan representativ mewakili seluruh rakyat namun Hal
ini dapat dijadikan sebagi cermin bahwa tulisan-tulisan seperti ini dapat
berakibat buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara republik Indonesia.
Seharusnya detik.com dan media-media lain dapat lebih selektif memuat tulisan-tulisan baik berita, dan opini karena Pers merupakan lembaga publik yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Tulisan ini bukan semata ditujukan kepada detik.com semata, akan tetapi ditujukan kepada semua media Pers baik elektronik dan cetak. semoga bermanfaat bagi kita semua, agar kita kita sebagai masyarakat lebih selektif dan jernih berpikir agar menjadi masyarakat yang arif dan bijaksana.
Seharusnya detik.com dan media-media lain dapat lebih selektif memuat tulisan-tulisan baik berita, dan opini karena Pers merupakan lembaga publik yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Tulisan ini bukan semata ditujukan kepada detik.com semata, akan tetapi ditujukan kepada semua media Pers baik elektronik dan cetak. semoga bermanfaat bagi kita semua, agar kita kita sebagai masyarakat lebih selektif dan jernih berpikir agar menjadi masyarakat yang arif dan bijaksana.
4)
Upaya pemerintah dalam Mengendalikan kebebasan pers
Sensor, adalah pengawasan dan kontrol
informasi atau gagasan yang beredar dalam suatu masyarakat. Seperti pengawasan atas buku, majalah,
pertunjukan, film, program televisi dan radio, laporan berita, dan media komunikasi
lain dengan tujuan mengubah atau menghilangkan bagian tertentu yang dianggap
tidak diterima atau tidak sopan.
2) Penerbitan SIUPP
(Surat Ijin Usaha Penrbitan Pers).
3) Pendirian
Departemen Penerangan.
4) Pemberlakuan UU
Pers, Yaitu UU No. 40 tahun 1999.
5) Pembreidelan,
yaitu pencabutan izin terbit. Di
Indonesia surat kabar dan majalah yang pernah dibreidel di masa Orde Lama dan
Orde Baru, adalah:
Nama
|
Jenis
|
Tanggal
dibreidel
|
Keng
Po
|
Surat
Kabar
|
1
Agustus 1957
|
Pos
Indonesia
|
Surat
Kabar
|
1957
|
Indonesia
Raya
|
Surat
Kabar
|
16
Agustus 1958
|
Star
weekly
|
Surat
Kabar
|
1961
|
Indonesia
Raya
|
Surat
Kabar
|
15
Januari 1974
|
Prioritas
|
Majalah
Berita
|
1986
|
Sinar
Harapan
|
Surat
Kabar
|
Oktober
1986
|
Monitor
|
Tabloid
Televisi, Radio dan Film
|
1992
|
Detik
|
Tabloid
Berita
|
1994
|
Editor
|
Majalah
Mingguan Berita
|
1994
|
Tempo
|
Majalah
Mingguan Berita
|
1994
Ket.
Terbit lagi setelah adanya permintaan maaf dari pihak majalah tempo.
|
Perspektif
|
Acara
Talk show Televisi
|
1995
|
Dialog
Aktual
|
Acara
Talk Show Televisi
|
1998
|
6) Distorsi peraturan perundangan,
adanya upaya penghilangan kebebasan pers itu sendiri memlalui
undang-undang. Contoh adanya keinginan
DPR untuk mengamandemen UU No. 40 tahun 1999, adanya UU hak cipta, UU tentang perlindungan konsumen, UU
Penyiaran, dan pasal-pasal ancaman pidana di
KUHP.
7) Perilaku aparat, adanya usaha mengendalikan
kebebasan pers dengan cara menelpon redaktur, mengirimkan teguran tertulis ke
redaksi media massa, melakukan kekerasan pisik kepada wartawan, menangkap dan
memenjarakan, bahkan membunuh wartawan.
8) Pengadilan Massa, dengan adanya kebebasan
pers yang tidak digunakan untuk menguimbar sensasi, kerja jurnalistik
asal-asalan, rumor, isu, dugaan, penghinaan, hujatan dimuat begitu saja,
sehingga masyarakat dirugikan. Mereka menghukum
pers sesuai dengan caranya sendiri (main hakim sendiri) seperti menculik,
merusak kantor media massa, penganiayaan wartawan, dll.
9) Perilaku pers itu sendiri, perolehan laba
menjadi lebih utama dari pada penyajian berita yang berkualitas dan memenuhi
standar etika jurnalistik, akibatnya beberapa media tumbuh menjadi kekuatan
anti demokrasi, sehingga lebih mengutamakan hiburan daripada memberikan
informasi yang syarat makna
Upaya Pemerintah dalam Mengendalikan Kebebasan Pers
a.Membuat undang-undang pers
b.Memfungsikan dewan pers sebagai pembina pers nasional
c.Menegakkan supremasi hukum
d.Melaksanakan sosialisasi dan meningkatkan kesadaran rakyat akan hak-hak asasi manusia
2.Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Media Massa dalam Masyarakat Demokratis di Indonesia
Berikut ini beberapa contoh bentuk penyalahgunaan kebebasan media massa.
a.Penyiaran berita / informasi yang tidak memenuhi kode etik jurnalistik
b.Peradilan oleh pers
c.Membentuk opini yang menyesatkan
d.Bentuk tulisan / saran bebas yang bersifat profokatif
Di samping beberapa dampak penyalahgunaan kebebasan media massa yang telah disebutkan di atas, secara khusus penyalahgunaan kebebasan media massa akan berdampak sebagai berikut.
a.Bagi kepentingan pribadi
b.Bagi kepentingan masyarakat
c.Bagi kepentingan negara
a.Membuat undang-undang pers
b.Memfungsikan dewan pers sebagai pembina pers nasional
c.Menegakkan supremasi hukum
d.Melaksanakan sosialisasi dan meningkatkan kesadaran rakyat akan hak-hak asasi manusia
2.Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Media Massa dalam Masyarakat Demokratis di Indonesia
Berikut ini beberapa contoh bentuk penyalahgunaan kebebasan media massa.
a.Penyiaran berita / informasi yang tidak memenuhi kode etik jurnalistik
b.Peradilan oleh pers
c.Membentuk opini yang menyesatkan
d.Bentuk tulisan / saran bebas yang bersifat profokatif
Di samping beberapa dampak penyalahgunaan kebebasan media massa yang telah disebutkan di atas, secara khusus penyalahgunaan kebebasan media massa akan berdampak sebagai berikut.
a.Bagi kepentingan pribadi
b.Bagi kepentingan masyarakat
c.Bagi kepentingan negara
0 komentar:
Posting Komentar